2
API
Posted by ardianti lestari aris
on
06.42
Source : Google Image |
Malam 6 Februari 2014, Masih saja
turun hujan. Hujan itu baik, Hujan itu Indah, namun bagi Sang Api, berada
dibawah hujan akan memadamkannya. Api mulai berjalan menuruni tangga-tangga
yang akan menghubungkannya dengan dunia luar, dunia yang Api tidak begitu suka.
Dunia yang Panas dan akan membuat Api semakin membara. Dunia yang tidak ramah.
Jalanan masih berbau basah,
akibat hujan yang hanya lewat, lalu pergi. Menyenangkan melihat hujan yang
hanya lewat sebentar. Tapi tidak menyenangkan bekas yang di tinggalkan sang
hujan. Menghilangkan bekas hujan, ya dengan membakarnya, menjadikan genangan-genangan
airnya menguap lalu hilang. Lalu, Api meningkatkan suhu, membakar,
menguapkannya.
Diperjalanan, Api bertemu banyak
orang. Melihat banyak wajah yang lebih cerah darinya. Yang lebih bercahaya dari
Lampu jalan bahkan daripada Api sekalipun. Iya, wajah-wajah jatuh cinta. Mereka
Bintang. Ada sebuah bintang yang berjalan sambil menelpon dan tersenyum penuh
cinta. Dan yang paling terang adalah dua bintang ini. Bintang yang selalu Api
temui setiap hari. Dua Bintang yang Jatuh cinta pada manusia. Dua Bintang yang
selalu menatap dari ketinggian terhadap dua sosok manusia di bumi, tatapan
cinta.
Ada percikan api kecil di dalam
hati Api. Percikan api kecil yang menyenangkan, menghangatkan, yang tidak
membakar. Hanya dengan melihat para bintang jatuh cinta, Percikan itu timbul,
tanpa diminta. Ada sedikit percikan iri,
tentang kapan Api bisa menjadi Bintang. Tentang pertanyaan bahwa apakah masih
ada kesempatan Api menjadi Bintang? Batin Api berdebat :
“Ah sudahlah, akupun pernah
berseri-seri seperti itu. Menunjukkan wajah penuh cinta, tatapan penuh cinta
sebelum aku menjadi api lalu membakar semuanya.” Kata sisi hangat sang Api
“Halah, mana pernah. Dari awal
cinta mu sudah menyakiti mu. Dari awal kamu memang sudah menjadi Api, menjadi
Api yang membakar semua. Kamu tidak pernah sedikitpun menjadi Bintang. Wajah mu
berseri dulu juga karena cahaya Api, yang membakar kebahagiaan orang lain.
Bukan karena cahaya Bintang” Kata sisi membara sang Api
“Jangan dengarkan, kamu pernah
menjadi bintang. Dan pasti akan menjadi bintang lagi nantinya. Hanya perlu
jatuh cinta. Itu saja. Putar roda
kehidupan mu dan berusahalah”
“Sudahlah, Lupakan menjadi
Bintang. Bekerjalah yang keras, dapatkan uang yang banyak, dan bakar semua yang
menghalangi mu. Jatuh cinta itu omong kosong. Kamu Api, dari awal memang
ditakdirkan menjadi Api. Api yang membara, Api yang panas.”
Api menggelengkan kepala. Mengakhiri
perdebatan yang sepertinya hanya akan di menangkan sisi sang Membara. Diatas
langit terlihat Bulan. Bulan sabit yang tersenyum seakan-akan mengatakan bahwa
“Tenanglah,
Aku terus mengawasimu”. Sang Api tersenyum dan membatin “Aku percaya, suatu
saat aku akan Kau kirimkan seseorang yang bisa membuatku jadi Bintang. Tidak
peduli apakah dulu aku pernah menjadi Bintang atau tidak, tapi, aku benar-benar
tidak ingin membakar orang lain lagi. Aku ingin punya wajah yang berseri karena
cahaya Bintang. Terima kasih telah mengawasiku dan menjaga ku, Bulan.”
Angin bertiup sepoi-sepoi,
meredupkan Api yang membara menjadi Api kecil yang menghangatkan sekitarnya.